KONSEP PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA
1.
Sejarah Pendidikan di Indonesia
Setelah Kemerdekaan
1.1
Masa Awal Kemerdekaan
Secara garis besar pendidikan di
awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem
pendidikan di negara-negara maju. Pada masa peralihan antara tahun
1945-1950 bangsa Indonesia merasakan berbagai kesulitan baik di bidang sosial
ekonomi, politik maupun kebudayaan, termasuk pendidikan. Dari sejumlah
anak-anak usia sekolah hanya beberapa persen saja yang dapat menikmati sekolah,
sehingga sisanya 90% penduduk Indonesia masih buta huruf.
Tujuan pendidikan pada waktu itu
dirumuskan untuk mendidik warga negara yang sejati. Dengan kata lain, tujuan
pendidikan pada masa itu ditekankan pada penanaman semangat patriotisme, karena
pada saat itu negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami perjuangan fisik dan
sewaktu-waktu pemerintah kolonial Belanda masih mencoba untuk menjajah kembali
negara Indonesia.
Kurikulum pasca kemerdekaan
kemerdekaan saat itu diberi nama Leer Plan dalam bahasa Belanda
artinya Rencana Pelajaran, lebih terkenal ketimbang kurikulum1947. Pada saat
itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sitem pendidikan
kolonial Belanda dan Jepang. Sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan
sebelumnya. R`encana
Pelajaran 1947 dikatakan sebagai pengganti sitem pendidikan kolonial Belanda.
Karena saat itu bangsa Indonesia masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan
dan bertujuan untuk pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan
berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi.
Yang diutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan
kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Tata susunan
persekolahan sesudah Indonesia merdeka yang berdasarkan satu jenis sekolah
untuk tiga tingkat pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan
sedangkan rencana pembelajaran pada umumnya sama dan bahasa Indonesia
ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk sekolah. Buku-buku pelajaran yang
digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahsa
Indonesia yang sudah dirintis sejak jaman Jepang.
Adapun
susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-adalah sebagai
berikut:
1.1.1 Pendidikan Rendah
Pendidikan yang
terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut dengan Sekolah Rakyat
(SR) lama pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain
meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat
menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat
kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946
NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana tekanannya adalah
pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran
seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17
jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR
pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia.
Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu
sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah Tinggi (SMT).
-
Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP
mempergunakan rencana pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya surat
keputusan menteri PPK thun 1946 maka diadakannya pembagian A dan B mulai kelas
II sehingga terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian A diberikan juga
sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran
bahasa dan praktek administrasi. Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan
Ilmu Pasti.
-
Sekolah Menengah Tinggi (SMT): Kementerian PPK hnaya mengurus langsung SMAT
yang ada di jawa terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung,
semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada
di bawah pengawasan pemerintah daerah berhubung sulitnya perhubungan dengn
pusat. SMT merupakan pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat
melanjutkan ke perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan
yang diberikan adalah rencana pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada
waktu itu msaih harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum
stabil. Demikian rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi kebutuhan
nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya
setingkat dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan
oleh masing-masing sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun
1947 barulah berlaku ujian negara tersebut.
1.1.2
Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru
yaitu:
1. Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan
4 tahun dan tujuan pendidikan guru untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima
adalah tamatan SR yang akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran
yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan
keuruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima
tamatan sekolah SMP,SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya
sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat
kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua
yaitu, perta ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
2. Sekolah Guru C (SGC) berhubung
kebutuhan guru SR yang mendesak maka terasa perlunya pembukaan sekolah guru
yang dalam tempo singkat dapat menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan
sekolah guru dua tahun setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena
dirasakan kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan
SGB.
3. Sekolah guru A (SGA) karena adanya
anggapan bahwa pendidikan guru 4 tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk
taraf pendidikan guru, maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun
sesudah SMP. Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan
kelas III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata
pelajaran yang diberikan di SGb hanya penyelenggaraannya lebih luas dan
mendalam.
1.1.3 Pedidikan
Kejuruan
Yang
dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan
kewanitaan:
-
Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka
sekolah dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat.
Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi atau
pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah dagang tersebut dilaksanakan oleh
inspektur sekolah dagang.
-
Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah
Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP)
yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.
1.1.4 Pendidikan Teknik
Seperti sekolah
lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping pelajarnya
sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut kadang-kadang juga
dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di Solo misalnya, dikerahkan
untuk membuat senjata yang sangat diperlukan kendali apaadanya. Adapun
sekolah-sekolah teknik yang ada pada masa itu ialah:
·
Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini lamanya satu tahun
lamanya dan merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN
terdiri atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu.
·
Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang
terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua
tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik, perabot
rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan
cor.
·
Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan
bangunan. Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi
jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan radio,
bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.
·
Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan
pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP bagian
B atau ST dan terdiri atas jurusn-jurusan: bangunnan gedung, bangunan sipil,
bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan
mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.
·
Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi keperluan
guru-guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang
menghasilkan:
- Ijazah A Teknik (KGSTP) guna
mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan: bangunan sipil, mesin,
listrik dan mencetak.
- Ijazah B I Teknik (KGST) untuk
mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan
sipil, bangunan gedung-geung dan mesin.
- Ijazah B II Teknik guna mengajar
dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung,
mesin dan listrik.
1.1.5 Pendidikan
Tinggi
Dalam
periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi semakin
terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini berkembang
pesat tetapikarena adanya pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik maka
perkuliahan kerap kali di sela dengan perjuangan garis depan.
Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas
Gajah Mada, beberapa sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah
kependudukan) Klaten, Solo dan Yogyakarta. Perkembangan pendidikan tinggi
sesudah proklamasi kendati mengalami berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapa
dipisahkan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu
kekuatan dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di
Jakarta pada waktu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi
kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember
1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi
agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir in di tutup oleh
belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan
tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan
Pendidikan tingkat tinggi pendudukan Belanda.
1.2 Masa Orde
Lama
Pada masa revolusi, pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Saat itu sangat terasa sangat terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. Kita dapat membangun system pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas.
Pada masa revolusi, pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Saat itu sangat terasa sangat terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. Kita dapat membangun system pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas.
Dari keterbatasan itu, dapat memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang
dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap NKRI. Sayangnya pada
era ini, pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis untuk mulai
dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu, dimulai pendidikan Indoktrinasi,
yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan orde
lama. Pada orde lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat
dengan system kolonial yang serba ketat, tetapi jujur dan mempertahankan
kualitas.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
Tujuan dan upaya pendidikan sudah mulai ditujukan kepada pembentukan
manusia yang diinginkan oleh konsep Manipol Usdek. Tujuan pendidikan adalah
menanamkan jiwa yang memiliki kepeloporan dalam membela dan mengembangkan
Manipol Usdek. Untuk itu perubahan kurikulum di lakukan. Mata pelajaran Civics
menjadi mata pelajaran utama disetiap jenjang pendidikan. Dalam pelajaran itu
dimasukkan ideologi yang sedang dikembangkan presiden Soekarno.
Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan.
Pada tahun 1952 ini diberi nama Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini
sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan
sekaligus menjadi ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran
harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana
Pelajaran Terurai1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru
mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar
Depdiknas periode 1991-1995. Pada masa itu juga dibentuk kelas Masyarakat.
Yaitu sekolah khusus bagi lulusan Sekolah Rendah 6 tahun
yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan,
seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan tujuannya agar anak tak mampu sekolah
kejenjang SMP, bisa langsung bekerja.
1.2.1 Perubahan
Sekolah-sekolah
Setelah RIS kembali kenegara kesatuan RI,
jawatanm inspeksi pengajaran kementerian PP dan K di Yogyakarta pada tanggal 25
Agustur 1950 mengeluarkan keputusan mengenai perubahan sekoah-sekolah yang
dilaksanakan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran 1949/1950. Sekolah-sekolah
dibagi-bagi atas enam kelompok: model-model sekoah yang berasal dari masa
sebelum kembali kenegara keatuan di bekas-bekas daerah-daerah ferdeal atau
pendudukan Belanda yang pada dasarnya menurut model kolonial diubah dan
disesuaikan dengan sistem pendidikan dan pengajaran nasional.
1.3 Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga
1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang
pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang
sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar.
Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari
segi kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting
pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa
memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quopenguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan. Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah:
1. Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
2. Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik.
3. Hilangnya kebebasan berpendapat.
Pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan untuk memenuhi hasrat penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
Pada masa ini, ada banyak pergantian kurikulum. Yang pertama, kurikulum 1968. Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung.
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diberi kesempatan untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quopenguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan. Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah:
1. Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
2. Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik.
3. Hilangnya kebebasan berpendapat.
Pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan untuk memenuhi hasrat penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
Pada masa ini, ada banyak pergantian kurikulum. Yang pertama, kurikulum 1968. Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung.
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diberi kesempatan untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi
1.4
Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
“Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan
dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Pendidikan di era reformasi 1999
mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan
ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah
memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi
kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem
“Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU
No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun
1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai:“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.”
Pada masa
reformasi ini terjadi perubahan. Yang pertama yaitu Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan
sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk
memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam
memperoleh informasi. Kembali peran guru diposisikan sebagai fasilitator dalam
perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk Menekankan pada ketercapaian
kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada
hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Berikut karakteristik utama KBK, yaitu:
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Berikut karakteristik utama KBK, yaitu:
1. Menekankan pencapaian kompetensi
siswa, bukan tuntasnya materi.
2. Kurikulum dapat diperluas,
diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal, sedang, dan tinggi).
3. Berpusat pada siswa.
4. Orientasi pada proses dan hasil.
5. Pendekatan dan metode yang digunakan
beragam dan bersifat kontekstual.
6. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan.
7. Buku pelajaran bukan satu-satunya
sumber belajar.
8. Belajar sepanjang hayat.
9. Belajar mengetahui (learning how
to know),
10. Belajar melakukan (learning how
to do),
11. Belajar menjadi diri sendiri (learning
how to be),
12. Belajar hidup dalam keberagaman (learning
how to live together).
Pengembangan
KBK mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan model-model lainnya.
1. Pendekatan ini bersifat alamiah
(kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan bermuara pada hakekat peserta
didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan potensinya
masing-masing.
2. Kurikulum berbasis kompetensi boleh
jadi mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan ilmu
pengetahuan, keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek-aspek kepribadian
dapat dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi tertentu.
3. Ada bidang-bidang studi atau mata
pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan
pendekatan kompetensi, terutama yang berkaitan dengan keterampilan.
Yang kedua
adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Secara umum KTSP tidak jauh
berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam
penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah
pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah
dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus
dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Jadi
pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan
membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan
lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP
berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk
memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang
telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan, mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan di sekolah, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan, mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan di sekolah, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
Yang terakhir adalah Kurikulum 2013.
Kurikulum terbaru 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran
kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum
2013 yang paling mendasar ialah menuntut kemampuan guru dalam berpengetahuan
dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang
telah mudah mencari informasi dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan
informasi. Sedangkan untuk siswa lebih didorong untuk memeiliki tanggung jawab
kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki
kemampuan berpikir kritis. Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif,
kreatif, inovatif, dan afektif. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik
integrative member kesempatan siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema
dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran IPA ndan IPS diajarkan dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia.
Seperti yang dirilis kemdikbud dalam kemdikbud.go.id ada empat aspek
yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan
keterlaksanaan kurikulum 2013.
1. Kompetensi guru dalam pemahaman
substansi bahan ajar, yang menyangkut metodologi pembelajaran, yang nilainya pada pelaksanaan uji
kompetensi guru (UKG) baru mencapai
rata-rata 44,46
2. Kompetensi akademik di mana guru
harus menguasai metode
penyampaian ilmu pengetahuan kepada siswa.
3. Kompetensi sosial yang harus dimiliki
guru agar tidak bertindak asocial kepada siswa dan
teman sejawat lainnya.
4. Kompetensi manajerial atau
kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang akan
digugu dan ditiru siswa.
Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan kurikulum ini. Kesiapan
guru ini akan berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong mampu lebih baik
dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang
telah mereka peroleh setelah menerima materi pembelajaran.
2.
Tokoh - Tokoh Pendidikan di Indonesia
Diantara
tokoh-tokoh Pendidikan di Indonesia adalah:
2.1 Raden
Ajeng Kartini (1879-1904)
Raden Ajeng (RA) Kartini lahir di Mayong (Jepara), pada
tanggal 21 April 1879. Hari kelahiranya ini sampai sekarang terus diperingati
sebagai Hari Kartini. Beliau terkenal sebagai seorang tokoh yang dengan gigih
memperjuangkan emansipasi wanita, yakni suatu upaya memperjuangkan hak-hak
wanita agar dapat sejajar dengan kaum pria.
Jenis
sekolah yang dirintis dan didirikan oleh RA Kartini adalah:
1. Sekolah
Gadis di Jepara, dibuka tahun 1903.
2. Sekolah
Gadis di Rembang. (Hasbullah, 2001: 262).
Pada dasarnya apa yang dicita-citakan dan dilakukan oleh
Kartini hanyalah sebagai perintis jalan, yang nantinya harus diserahkan oleh
Kartini-kartini baru. Pada awalnya, pergerakan wanita dilakukan secara
perseorangan, dan R.A. Kartini (1879-1904) adalah pelopornya. Setamat dari
E.L.S. pada usia 12 tahun terus dipingit dan tidak melanjutkan sekolah karena
adat istiadat yang berlaku pada masa itu. Meskipun demikian tidak memadamkan
semangatnya untuk maju. Ia banyak belajar dari membaca buku dan surat menyurat
dengan teman dan kenalanya. Atas bantuan ikhtiyar teman dan kenalanya seperti
Ovink Soer dan lain-lainya, pingitan menjadi longgar. Kartini berhasrat menjadi
guru untuk anak-anak perempuan para bupati yang diusulkan oleh Abendanon,
tetapi gagal karena gagasan sekolah tersebut ditolak pemerintah kolonial
Belanda, berdasarkan penolakan dari para bupati. Beasiswa belajar di negeri
Belanda yang berhasil diajukan oleh van Kol untuk Kartini dan Rukmini, adiknya,
juga tidak dapat dilaksanakan. Meskipun banyak mengalami kekecewaan. Kartini
berhasil membuka Sekolah wanita yang pertama di Indonesia.
(Redja Mudyahardjo, 2001:285).
R.A. Kartini
meninggal dalam usia cukup muda yaitu empat hari setelah melahirkan, tepatnya
tanggal 17 September 1904. (Hasbullah, 2001: 262).
2.2 Raden
Dewi Sartika (1884-1947)
Raden Dewi Sartika lahir di Bandung pada tanggal 4 Desember
1884. sebagaimana halnya dengan RA. Kartini, Dewi Sartika juga merupakan
seorang tokoh wanita yang menyalurkan perjuanganya melalui pendidikan.
Cita-cita Dewi
Sartika yaitu mengangkat derajat kaum wanita Indonesia dengan jalan memajukan
pendidikanya. Sebab ketika itu masyarakat cukup menghawatirkan, dimana kaum
wanita tidak diberikan kesempatan untuk mengejar kemajuan. Untuk merealisasikan
cita-cita pendidikanya, maka pada tahun 1904 didirikanlah sebuah sekolah yang
diberi nama “Sekolah Istri”. Ketika pertama dibuka sekolah ini mempunyai murid
sebanyak 20 orang, kemudian dari tahun ke tahun terus bertambah. Dan pada tahun
1909 baru dapat mengeluarkan out putnya yang pertama dengan mendapat ijazah.
Pada tahun 1914 Sekolah Istri diganti namanya menjadi “Sakola Kautamaan Istri”.
(Hasbullah, 2001: 263).
2.3 Rohana
Kudus (1884-1969).
Rohana Kudus dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1884 di
Kota Gedang, Sumatera Barat. (Hasbullah, 2001: 263).
Beliau adalah seorang wanita Islam yang sangat taat
menjalankan ajaran agamanya, dengan giat sekali mempelopori emansipasi wanita.
Ia seorang pendidik wanita yang berusaha untuk memperbaiki nasib kaum wanita
Indonesia, disamping itu juga ia adalah seorang Guru Agama, Guru Kerajinan
wanita, serta seorang wartawan wanita pertama di Indonesia.
Usaha-usaha
Rohana Kudus adalah:
1.
Tahun 1896 saat
usianya baru 12 tahun, sudah mengajar teman-teman gadis di kampungnya dalam
bidang membaca dan menulis, huruf Arab dan Latin.
2.
Tahun 1905
mendidikan “Sekolah Gadis” di Kota Gedang, yang kemudian pada tahun 1911 diubah
namanya menjadi “Sekolah Kerajinan Amai Satia”.
3.
Tahun 10 Juli 1912
ikut melahirkan sekaligus menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Wanita dengan
nama “Soenting Melajoe” di Padang. (Hasbullah, 2001: 264).
2.4 Ki
Hajar Dewantara (1889-1959)
Ki Hajar Dewantara yang sebelumnya bernama Raden Mas Suwardi
, lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. putera dari KPH. Suryaningrat,
dan cucu dari Pakualam III, yang meninggalkan kebangsawananya untuk terjun
dalam pergerakan kemeerdekaan Indonesia dan berjuang memperbaiki nasib rakyat.
Ki hajar Dewantara masuk Sekolah Dokter Jawa di jakarta sampai tingkat
II, dan meninggalkan sekolah tersebut kembali ke Yogyakarta, karena kesulitan
biaya. (Redja Mudyahardjo, 288).
Beliau adalah tokoh yang sangat berjasa di bidang pendidikan, dan beliaulah yang mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tahun 1922. dikarenakan jasanya yang sangat besar tersebut, maka sampai sekarang hari lahirnya yaitu 2 Mei diperingati sebagai Pendidikan Nasional.
Beliau adalah tokoh yang sangat berjasa di bidang pendidikan, dan beliaulah yang mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tahun 1922. dikarenakan jasanya yang sangat besar tersebut, maka sampai sekarang hari lahirnya yaitu 2 Mei diperingati sebagai Pendidikan Nasional.
Perguruan Taman Siswa yang didirikan pada tanggal 3 Juli
1922, pada mulanya bernama “National Onderwijs Institut Taman
Siswa” di Yogyakarta.
Secara lengkap bagian-bagian pendidikan pada Perguruan Taman
Siswa ini adalah:
1.
Taman Indria
(setingkat dengan TK).
2.
Taman Anak
(setingkat kelas I-III sekolah Rendah).
3.
Taman Muda
(setingkat kelas IV-VI sekolah Rendah).
4.
Taman Dewasa
(setara SMP).
5.
Taman Madia
(setara SMA).
6.
Taman Guru B-1
(mendidik calon guru untuk Taman Anak dan Taman Madia).
7.
Taman Guru B-2.
8.
Taman Guru B-3
(mendidik calon guru untuk taman Dewasa) Taman Guru B-3 ini terdiri dari dua
bagian, yaitu Bagian A untuk Jurusan Ilmu Pasti dan Alam, dan Bagian B untuk
Jurusan Budaya.
9.
Taman Guru Indria
(mendidik anak wanita yang ingin manjadi guru pada Taman Indria).
Asas-asas pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar
Dewantara, sebagai berikut:
1.
Asas kemerdekaan.
2.
Asas kodrat alam.
3.
Asas kebudayaan.
4.
Asas
kebangsaan.
5.
Asas kemanusiaan.
(Hasbullah, 2001: 265).
Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 April
1959 di Yogyakarta. Beliau telah memberikan karya terbaiknya kepada nusa dan
bangsa. Semboyan “Tut Wuri Handayani” diabadikan sebagai lambang dan semboyan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Ki hajar Dewantara pernah menjadi Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan Kabinet presidentil I, 19 Agustus 1945- 14 November
1945. ( Hasbullah, 2001: 295).
Tujuan Pendidikan menurut Beliau adalah: sebagai proses
pembudayaan kodrat alam setiap individu yang kemampuan-kemampuan bawaan untuk
dapat mempertahankan hidup, yang tertuju pada pencapaian kemerdekaan lahir dan
batin, sehingga memperoleh keselamatan dalam hidup batiniah . ( Ki Hajar
Dewantara, 1952: 24).
2.5 Mohammad
Syafei ( 1899-1969)
Mohammad Syafei lahir di Kalimantan pada tahun 1899.
perjuangan beliau juga dititikberatkan pada bidang pendidikan.
Pada tahun 1922 beliau menjadi guru pada Sekolah Katini di
Jakarta, dan sejak itu aktifitasnya di bidang pendiikan terus bertambah.
Sebagai seorang tokoh pendidikan, Mohammad Syafei berjasa besar dalam
mendirikan sekolah yang diberinama “Indonesische Nederlanshe Shool” atau
yang lebih dikenal dengan sebutan INS, di Kayuttanam Sumatera Barat.
(Hasbullah, 2001: 266).
Sementara itu INS yang kemudian merupakan singkatan dari “Indonesian
National Scholl”, menitikberatkan pendidikanya kepada dunia kerja. INS
menyelenggarakan pendidikan dalam jenjang:
1.
Ruang Bawah, yakni
setara dengan sekolah Rendah atau Sekolah Dasar. Lama pendidikanya 7 tahun.
2.
Ruang Atas, yakni
setara dengan sekolah menengah, lama pendidikanya 6 tahun.
Adapun tujuan
sekolah yang diselengagarakan oleh Mohammad Syafei adalah:
1.
Mendidik anak-anak
agar mampu berpikir secara rasional.
2.
Mendidik anak-anak
agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh.
3.
Mendidik anak-anak
agar menjadi manusia yang berwatak baik.
4.
Menanamkan rasa
persatuan. (Hasbullah, 2001: 267).
Pada
zaman kemerdekaan yaitu tahun 1952, sebagai penghargaan pemerintah terhadap
usaha-usaha Mohamm, meninggal dunia pada tanggal 5 Maret 1969. Meskipun beliau
sudah tiada tapi jasa-jasanya dibidang pendidikan tidak akan terlupakan,
apabila para lulusan INS tersebar ke berbagai pelosok tanah air, yang tentu
saja kiprahnya sangat besar bagi pembangunan bangsa dan negara.
Pendidikan menurut Syafei memiliki fungsi membantu manusia
keluar sebagai pemenang dalam perkembangan kehidupan dan persaingan dalam penyempurnaan
hidup lahir dan batin antar bangsa. ( Thalib Ibrahim, 1978: 25).
2.6 Kiai Haji Ahmad Dahlan (1869-1923)
Ahmad Dahlan merupakan salah seorang tokoh Islam yang sangat
giat memperjuangkan kemajuan umat Islam melalui bidang pendidikan. Dia adalah
seorang tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta. (
Hasbullah, 2001: 268).
K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 M
dengan nama kecilnya Muhammad Darwis, putra dari KH. Abubakar bin Kyi Sulaiman,
khatib di masjid besar (Jami’) Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri haji
Ibrahim, seorang penghulu. (Zuhairini, 2004: 199).
Setelah ia menamatkan pendidikan dasarnya di suatu madrasah
dalam bidang nahwu, fiqh dan tafsir di Yogyakarta, ia pergi ke Makkah pada tahun
1890 dan ia menuntut ilmu di sana selama satu tahun. Salah seorang gurunya
Syekh Khatib. Sekitar tahun 1903 ia mengunjungi kembali ke Makkah dan kemudian
menetap disana selama dua tahun.
Sepulang dari Makkah yang pertama ia telah bertukar nama
dengan Haji Ahmad Dahlan. Tiada berapa lama kemudian ia menikah dengan Siti
Walidah putri Kyai Penghulu Haji Fadhil. (Amir Hamsyah W.S. 1968: 70)
K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) mendirikan Muhammadiyah pada
18 Nopember 1912. Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan yang mengadakan
pembaharuan dalm kehidupan beragama berdasarkan Islam. Oleh karena itu, salah
satu cita-citanya adalah melepaskan agama Islam dari adat istiadat kebiasaan
yang jelek, supaya agama Islam dapat menyelaraskan diri dengan perubahan zaman,
tetap bersifat muda dan menghindarkan diri dari kelemahan dan keburukan. Untuk
mencapai hal tersebut, dipandang perlu sekali hal ikhwal agama Islam jangan
hanya boleh diketahui dari pendapat alim ulama dari zaman dahulu yang tersohor,
tetapi sebaliknya setiap muslim/muslimat harus dapat langsung mengarahkan
sendiri hal ikhwal itu ke sumber asalnya, yaitu ke Kitab Suci Al-Qur’an, firman
Tuhan yang dinyatakan melalui Nabi Muhammad. (Redja Mudyahardjo, 2001:
280).
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi KH. Ahmad Dahlan
mendirikan Muhammadiyah yaitu:
1.
Umat Islam tidak
memegang tuntutan al-Qur’an dan Hadits Nabi, sehingga menyebabkan perbuatan
Syirik, bid’ah dan khurafat makin merajalela serta mencemarkan kemurnian
ajaranya.
2.
Keadaan umat Islam
sangat menyedihkan akibat penjajahan.
3.
Kegagalan institusi
pendidikan Islam untuk memenuhi tuntutan kemajuan zaman, sebagai akibat dari
isolasi diri.
4.
Persatuan dan
kesatuan umat Islam menurun, sebagai akibat lemahnya organisasi Islam yang ada.
5.
Munculnya tantangan
dari kegiatan misi Zending yang dianggap mengancam masa depan umat Islam.
Ahmad
dahlan mempunyai harapan agar guru-guru sekolah dapat meneruskan isi
pelajaranya kepada murid-murid mereka pula. Pelajaran-pelajaran yang diberikan
oleh K.H. Ahmad Dahlan kelihatanya memenuhi harapan dan keperluan
anggota-anggota Budi utomo, sebagai bukti dari saran mereka agar ia membuka
sebuah sekolah sendiri, yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi
yang bersifat permanen tradisional yang terpaksa ditutup, apabila kyai yang
bersangkutan meninggal. ( Deliar Noer, 1982: 87).
Tujuanya adalah: Terwujudnya manusia muslim, berakhlak,
cakap, percaya kepada diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara.
Tentang jenis-jenis sekolah yang dikembangkan adalah sebagai
berikut:
1. Sebelum Merdeka:
a. Sekolah umum; TK, Vervolg School 2 tahun,
Schakel School 4 tahun, HIS 7 tahun,
MULO 3 tahun, AMS 3 tahun, dan HIK 3 tahun.
b. Sekolah Agama; Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun,
Tsanawiyah 3 tahun, Muallimin/Muallimat
5 tahun, Kulliatul Muballighin (SPG Islam) 5 tahun.
2. Sesudah Merdeka
Setelah Indonesia merdeka perkembangan pendidikan
Muhammadiyah semakin pesat. Pada dasarnya ada 4 jenis lembaga pendidikan yang
di kembangkanya, yaitu:
1.
Sekolah-sekolah
umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu: SD,
SMP, SMTA, SPG, SMEA, SMKK dan sebagainya.
2.
Madrasah-madrasah
yang bernaung di bawah Departemen Agama, yaitu
Madrasah Ibtidaiyah, MTs dan Madrasah Aliyah.
3.
Jenis sekolah atau
madrasah khusus Muhammadiyah, itu Muallimin, Muallimat, Sekolah Tabligh dan
Pondok Pesantren Muhammadiyah.
4.
Perguruan Tinggi
Muhammadiyah, ada yang umum dan ada yang berciri khas agama. Untuk perguruan
tinggi umumnya di bawah pembinaan Kopertis Depdikbud, sedangkan perguruan
tinggi agama di bawah pembinaan Kopertais Departemen Agama. (Redja Mudyahardjo,
2004: 282).
KH. Ahmad Dahlan meninggal dunia pada tanggal 25 Februari
1923, dalam usia 55 tahun, dengan meninggalkan sebuah organisasi Islam yang
cukup besar dan disegani karena ketegaranya. (Zuhairini, 2004: 202).
2.7 K.H.
Hasyim Asy’ari (1871-1974)
Organisasi keagamaan yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari
ini bernama Nahdlatul Ulama (NU). N.U adalah organisasi keagamaan yang dipimpin
oleh para ulama, dan berorentasi tradisional. Maksud perkumpulan N.U. adalah
memegang teguh salah satu mazhab dari madzhab Imam yang berempat, yaitu :
1. syafi’I, 2. maliki, 3. Hanafi, 4. Hambali, dan mengerjakan segala yang
menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam. (Redja Mudyahardjo, 2001; 282).
Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Pebruari 1871 di
Jombang Jawa Timur. Beliau berjasa besar dalam mendirikan organisasi Islam
terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31
Januari 1926. Di samping mendirikan NU, KH. Hasyim Asy’ari dalam rangka
merealisasikan cita-citanya, mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang pada
tahun 1899. Mula-mula ia belajar agama Islam pada ayahnya sendiri Kyi Asy’ari.
Kemudian ia belajar ke pondok pesantren di Purbolinggo, kemudian pindah lagi ke
Plangitan, Semarang, Madura, dan lain-lain. (Zuhairini, 2004, 202).
Sewaktu ia belajar di Siwalan panji (Sidoarjo) pada tahun
1891, Kyi Ya’kub yang mengajarnya tertarik kepada tingkah lakunya yang baik dan
sopan santunnya yang halus, sehingga ingin mengambilnya sebagai menantu, dan
akhirnya ia dinikahkan dengan putri Kyainya itu bernama Khadijah (tahun 1892).
Tidak lama kemudian ia pergi ke Makkah bersama istrinya untuk menunaikan ibadah
haji dan bermukim selama satu tahun, sedang istrinya meninggal disana.
(Zuhairini, 2004: 203).
Pada kunjungan yang kedua ke Makkah ia bermukim selama
delapan tahun untuk menuntut ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Sepulang dari
Makkah ia membuka pesantren untuk mengamalkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuanya, yaitu Pesantren Tebuireng di Jombang (Pada tanggal 26 Robi’ul
Awal tahun 1899 M).
Pembaharuan Tebuireng yang pertama ialah dengan mendirikan
Madrasah Salafiyah (tahun 1919) sebagai tangga untuk memasuki tingkat menengah
pesantren Tebuireng.
Pada tahun 1929 KH Hasyim Asy’ari menunjuk KH Ilyas menjadi
kepala Madrasah Salafiyah. (Mahmud Yunus, 1979: 235). Dengan demikian KH Ilyas
dapat melaksanakan hasratnya untuk memperbaharui keadaan dalam pesantren
Tebuireng menurut cita-cita pendirinya KH. Hasyim Asy’ari.
Setiap bulan Sya’ban para kyai dari berbagai daerah
mengunjungi pesantren Tebuireng untuk belajar selama satu bulan. Sebagai
ilustrasi tentang pengakuan terhadap keahlianya. Dapat disebutkan bahwa seorang
bekas gurunya pada tahun 1933 berkunjung ke Tebuireng untuk mendengarkan/mengikuti
pelajaran yang ia berikan. (Deliar Noer, 1982; 250).
Sementara itu NU tidak saja bergerak dalam bidang sosial
kemasyarakatan, tetapi sangat memperhatikan pada masalah-masalah pendidikan.
Apalagi di NU ada satu bidang yang khusus menangani masalah pendidikan di
lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan
NU.
Adapun
tujuan pendidikan Ma’arif adalah:
1.
Menumbuhkan jiwa
pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak
didik sesuai dengan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.
2.
Menanamkan sikap
terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak lain untuk lebih
baik, ketrampilan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.
Menciptakan sikap
hidup yang berorentasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah
kesatuan.
4.
Menanamkan
penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai ajaran yang
dinamis. (Hasbullah, 2001: 270).
N.U mengadakan
ikhtiar anatar lain:
1.
Mengadakan
perhubungan di antara ulam-ulama yang bermazhab tersebut
diatas.
2.
Memelihara
kitab-kitab sebelum dipakai untuk menagajr supaya diketahui apakah kitab itu
termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah wal Jama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah.
3.
Berikhtiyar
memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam.
4.
Menyiarkan agama
Islam berdasarkan pada madzhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang
baik.
5.
Memperhatikan
hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok,
begitu juga dengan hal ikhwal anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin.
6.
Mendirikan
badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang
tidak dilarang oleh syara agama Islam.
Basis pendidikan N.U. adalah Pesantren. Meskipun
demikian N.U. menyeleng- garakan madrasah
dan Sekolah Umum. (Redja Mudyahardjo, 2001:283).
serba pink, laen yg HK :D
BalasHapushehe iyo yun :D
BalasHapusheyho saya datang... kunjungi blog saya yah di golddayona.blogspot.com
BalasHapusoke mbak bro :D
BalasHapushaihaii saya juga donk ikutan :p
BalasHapusblog saya ezirahmanida.blogspot.com
iya iya, mudahlah itu mbk bro :D
BalasHapuskunjungi + komen yah bik bro ..
BalasHapus