Minggu, 23 November 2014

Konsep Pendidikan Nasional di Indonesia

KONSEP PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA

1.    Sejarah Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan
1.1    Masa Awal Kemerdekaan
Secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di negara-negara  maju. Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan berbagai kesulitan baik di bidang sosial ekonomi, politik maupun kebudayaan, termasuk pendidikan. Dari sejumlah anak-anak usia sekolah hanya beberapa persen saja yang dapat menikmati sekolah, sehingga sisanya 90% penduduk Indonesia masih buta huruf.
Tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan untuk mendidik warga negara yang sejati. Dengan kata lain, tujuan pendidikan pada masa itu ditekankan pada penanaman semangat patriotisme, karena pada saat itu negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami perjuangan fisik dan sewaktu-waktu pemerintah kolonial Belanda masih mencoba untuk menjajah kembali negara Indonesia.
Kurikulum pasca kemerdekaan kemerdekaan saat itu diberi nama Leer Plan dalam bahasa Belanda artinya Rencana Pelajaran, lebih terkenal ketimbang kurikulum1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sitem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang. Sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. R`encana Pelajaran 1947 dikatakan sebagai pengganti sitem pendidikan kolonial Belanda. Karena saat itu bangsa Indonesia masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan dan bertujuan untuk pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi.
Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Tata susunan persekolahan sesudah Indonesia merdeka yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiga tingkat pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan sedangkan rencana pembelajaran pada umumnya sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk sekolah. Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahsa Indonesia yang sudah dirintis sejak jaman Jepang.
Adapun susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-adalah sebagai berikut:
1.1.1 Pendidikan Rendah
          Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946 NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia.
          Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah Tinggi (SMT).
-          Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP mempergunakan rencana pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan menteri PPK thun 1946 maka diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi. Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.
-          Sekolah Menengah Tinggi (SMT): Kementerian PPK hnaya mengurus langsung SMAT yang ada di jawa terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung, semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah pengawasan pemerintah daerah berhubung sulitnya perhubungan dengn pusat. SMT merupakan pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang diberikan adalah rencana pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum stabil. Demikian rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi kebutuhan nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya setingkat dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan oleh masing-masing sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947 barulah berlaku ujian negara tersebut.

     1.1.2 Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru yaitu:
1.    Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan guru untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan SR yang akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan keuruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan sekolah SMP,SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua yaitu, perta ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
2.    Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang mendesak maka terasa perlunya pembukaan sekolah guru yang dalam tempo singkat dapat menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan sekolah guru dua tahun setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena dirasakan kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan SGB.
3.    Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa pendidikan guru 4 tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan guru, maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun sesudah SMP. Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan kelas III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata pelajaran yang diberikan di SGb hanya penyelenggaraannya lebih luas dan mendalam.


1.1.3 Pedidikan Kejuruan
          Yang dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan kewanitaan:
-          Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.
-          Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.

1.1.4   Pendidikan Teknik
          Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping pelajarnya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut kadang-kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di Solo misalnya, dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan kendali apaadanya. Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada pada masa itu ialah:
·           Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini lamanya satu tahun lamanya dan merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu.
·           Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan cor.
·            Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan. Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.
·           Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas jurusn-jurusan: bangunnan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.
·           Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi keperluan guru-guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang menghasilkan:
-       Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.
-       Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-geung dan mesin.
-       Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.

1.1.5 Pendidikan Tinggi
Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi semakin terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat tetapikarena adanya pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik maka perkuliahan kerap kali di sela dengan perjuangan garis depan.
 Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan) Klaten, Solo dan Yogyakarta. Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapa dipisahkan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu kekuatan dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di Jakarta pada waktu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir in di tutup oleh belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan Belanda.

1.2     Masa Orde Lama
          Pada masa revolusi, pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Saat itu sangat       terasa sangat terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. Kita dapat membangun system pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas.
         Dari keterbatasan itu, dapat memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap NKRI. Sayangnya pada era ini, pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis untuk mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu, dimulai pendidikan Indoktrinasi, yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan orde lama. Pada orde lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan system kolonial yang serba ketat, tetapi jujur dan mempertahankan kualitas.
        Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
        Tujuan dan upaya pendidikan sudah mulai ditujukan kepada pembentukan manusia yang diinginkan oleh konsep Manipol Usdek. Tujuan pendidikan adalah menanamkan jiwa yang memiliki kepeloporan dalam membela dan mengembangkan Manipol Usdek. Untuk itu perubahan kurikulum di lakukan. Mata pelajaran Civics menjadi mata pelajaran utama disetiap jenjang pendidikan. Dalam pelajaran itu dimasukkan ideologi yang sedang dikembangkan presiden Soekarno.
        Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami  penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Pada masa itu juga dibentuk kelas Masyarakat. Yaitu sekolah khusus bagi lulusan Sekolah Rendah 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan tujuannya agar anak tak mampu sekolah kejenjang SMP, bisa langsung bekerja.
1.2.1 Perubahan Sekolah-sekolah
  Setelah RIS kembali kenegara kesatuan RI, jawatanm inspeksi pengajaran kementerian PP dan K di Yogyakarta pada tanggal 25 Agustur 1950 mengeluarkan keputusan mengenai perubahan sekoah-sekolah yang dilaksanakan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran 1949/1950. Sekolah-sekolah dibagi-bagi atas enam kelompok: model-model sekoah yang berasal dari masa sebelum kembali kenegara keatuan di bekas-bekas daerah-daerah ferdeal atau pendudukan Belanda yang pada dasarnya menurut model kolonial diubah dan disesuaikan dengan sistem pendidikan dan pengajaran nasional.

1.3   Masa Orde Baru
 Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quopenguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan. Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah:
1. Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga,  berimplikasi pada              hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan                    manusia).
2. Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang            berpikiran positivistik.
3.  Hilangnya kebebasan berpendapat.
Pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan untuk memenuhi hasrat penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang  kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
Pada masa ini, ada banyak pergantian kurikulum. Yang pertama, kurikulum 1968. Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang  dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional  umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung.
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diberi kesempatan untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan  lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi

1.4   Masa Reformasi
        Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
     “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
        Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem                    pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai:“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Pada masa reformasi ini terjadi perubahan. Yang pertama yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Kembali peran guru diposisikan sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Berikut karakteristik utama KBK, yaitu:
1.    Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
2.    Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal, sedang,          dan tinggi).
3.    Berpusat pada siswa.
4.    Orientasi pada proses dan hasil.
5.    Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
6.    Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
7.    Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
8.    Belajar sepanjang hayat.
9.    Belajar mengetahui (learning how to know),
10.     Belajar melakukan (learning how to do),
11.     Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be),
12.     Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together).
Pengembangan KBK mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan model-model lainnya.
1.    Pendekatan ini bersifat alamiah (kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan bermuara pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan potensinya masing-masing.
2.    Kurikulum berbasis kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan, keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi tertentu.
3.    Ada bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi, terutama yang berkaitan dengan keterampilan.
         Yang kedua adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan  penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
         Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
         Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan, mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan di sekolah, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
         Yang terakhir adalah Kurikulum 2013. Kurikulum terbaru 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013 yang paling mendasar ialah menuntut kemampuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informasi dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan untuk siswa lebih didorong untuk memeiliki tanggung jawab kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan berpikir kritis. Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan afektif. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative member kesempatan siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran IPA ndan IPS diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
          Seperti yang dirilis kemdikbud dalam kemdikbud.go.id ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013. 
1.      Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, yang       menyangkut metodologi pembelajaran, yang nilainya pada pelaksanaan uji        kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-rata 44,46
2.      Kompetensi akademik di mana guru harus menguasai metode          penyampaian ilmu pengetahuan kepada siswa.
3.      Kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asocial      kepada siswa dan teman sejawat lainnya.
4.      Kompetensi manajerial atau kepemimpinan karena guru sebagai seorang      yang akan digugu dan ditiru siswa.
Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan kurikulum ini. Kesiapan guru ini akan berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang telah mereka peroleh setelah menerima materi pembelajaran. 

2.    Tokoh - Tokoh Pendidikan di Indonesia
Diantara tokoh-tokoh Pendidikan di Indonesia adalah:
2.1   Raden Ajeng Kartini (1879-1904)
  Raden Ajeng (RA) Kartini lahir di Mayong (Jepara), pada tanggal 21 April 1879. Hari kelahiranya ini sampai sekarang terus diperingati sebagai Hari Kartini. Beliau terkenal sebagai seorang tokoh yang dengan gigih memperjuangkan emansipasi wanita, yakni suatu upaya memperjuangkan hak-hak wanita agar dapat sejajar dengan kaum pria.
Jenis sekolah yang dirintis dan didirikan oleh RA Kartini adalah:
1.  Sekolah Gadis di Jepara, dibuka tahun 1903.
2.  Sekolah Gadis di Rembang. (Hasbullah, 2001: 262).
Pada dasarnya apa yang dicita-citakan dan dilakukan oleh Kartini hanyalah sebagai perintis jalan, yang nantinya harus diserahkan oleh Kartini-kartini baru. Pada awalnya, pergerakan wanita dilakukan secara perseorangan, dan R.A. Kartini (1879-1904) adalah pelopornya. Setamat dari E.L.S. pada usia 12 tahun terus dipingit dan tidak melanjutkan sekolah karena adat istiadat yang berlaku pada masa itu. Meskipun demikian tidak memadamkan semangatnya untuk maju. Ia banyak belajar dari membaca buku dan surat menyurat dengan teman dan kenalanya. Atas bantuan ikhtiyar teman dan kenalanya seperti Ovink Soer dan lain-lainya, pingitan menjadi longgar. Kartini berhasrat menjadi guru untuk anak-anak perempuan para bupati yang diusulkan oleh Abendanon, tetapi gagal karena gagasan sekolah tersebut ditolak pemerintah kolonial Belanda, berdasarkan penolakan dari para bupati. Beasiswa belajar di negeri Belanda yang berhasil diajukan oleh van Kol untuk Kartini dan Rukmini, adiknya, juga tidak dapat dilaksanakan. Meskipun banyak mengalami kekecewaan. Kartini berhasil membuka Sekolah wanita yang pertama di Indonesia. (Redja Mudyahardjo, 2001:285).
R.A. Kartini meninggal dalam usia cukup muda yaitu empat hari setelah melahirkan, tepatnya tanggal 17 September 1904. (Hasbullah, 2001: 262).

2.2   Raden Dewi Sartika (1884-1947)
  Raden Dewi Sartika lahir di Bandung pada tanggal 4 Desember 1884. sebagaimana halnya dengan RA. Kartini, Dewi Sartika juga merupakan seorang tokoh wanita yang menyalurkan perjuanganya melalui pendidikan.
Cita-cita Dewi Sartika yaitu mengangkat derajat kaum wanita Indonesia dengan jalan memajukan pendidikanya. Sebab ketika itu masyarakat cukup menghawatirkan, dimana kaum wanita tidak diberikan kesempatan untuk mengejar kemajuan. Untuk merealisasikan cita-cita pendidikanya, maka pada tahun 1904 didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama “Sekolah Istri”. Ketika pertama dibuka sekolah ini mempunyai murid sebanyak 20 orang, kemudian dari tahun ke tahun terus bertambah. Dan pada tahun 1909 baru dapat mengeluarkan out putnya yang pertama dengan mendapat ijazah. Pada tahun 1914 Sekolah Istri diganti namanya menjadi “Sakola Kautamaan Istri”. (Hasbullah, 2001: 263).

2.3   Rohana Kudus (1884-1969).
Rohana Kudus dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1884 di Kota Gedang, Sumatera Barat. (Hasbullah, 2001: 263).
Beliau adalah seorang wanita Islam yang sangat taat menjalankan ajaran agamanya, dengan giat sekali mempelopori emansipasi wanita. Ia seorang pendidik wanita yang berusaha untuk memperbaiki nasib kaum wanita Indonesia, disamping itu juga ia adalah seorang Guru Agama, Guru Kerajinan wanita, serta seorang wartawan wanita pertama di Indonesia.
Usaha-usaha Rohana Kudus adalah:
1.      Tahun 1896 saat usianya baru 12 tahun, sudah mengajar teman-teman gadis di kampungnya dalam bidang membaca dan menulis, huruf Arab dan Latin.
2.      Tahun 1905 mendidikan “Sekolah Gadis” di Kota Gedang, yang kemudian pada tahun 1911 diubah namanya menjadi “Sekolah Kerajinan Amai Satia”.
3.      Tahun 10 Juli 1912 ikut melahirkan sekaligus menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Wanita dengan nama “Soenting Melajoe” di Padang. (Hasbullah, 2001: 264).

2.4   Ki Hajar Dewantara (1889-1959)
  Ki Hajar Dewantara yang sebelumnya bernama Raden Mas Suwardi , lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. putera dari KPH. Suryaningrat, dan cucu dari Pakualam III, yang meninggalkan kebangsawananya untuk terjun dalam pergerakan kemeerdekaan Indonesia dan berjuang memperbaiki nasib rakyat. Ki hajar Dewantara masuk Sekolah Dokter Jawa di jakarta sampai tingkat  II, dan meninggalkan sekolah tersebut kembali ke Yogyakarta, karena kesulitan biaya. (Redja Mudyahardjo, 288).
Beliau adalah tokoh yang sangat berjasa di bidang pendidikan, dan beliaulah yang mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tahun 1922. dikarenakan jasanya yang sangat besar tersebut, maka sampai sekarang hari lahirnya yaitu 2 Mei diperingati sebagai Pendidikan Nasional.
Perguruan Taman Siswa yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922, pada mulanya bernama “National Onderwijs Institut Taman Siswa” di Yogyakarta.
Secara lengkap bagian-bagian pendidikan pada Perguruan Taman Siswa ini adalah:
1.      Taman Indria (setingkat dengan TK).
2.      Taman Anak (setingkat kelas I-III sekolah Rendah).
3.      Taman Muda (setingkat kelas IV-VI sekolah Rendah).
4.      Taman Dewasa (setara SMP).
5.       Taman Madia (setara SMA).
6.      Taman Guru B-1 (mendidik calon guru untuk Taman Anak dan Taman Madia).
7.      Taman Guru B-2.
8.      Taman Guru B-3 (mendidik calon guru untuk taman Dewasa) Taman Guru B-3 ini terdiri dari dua bagian, yaitu Bagian A untuk Jurusan Ilmu Pasti dan Alam, dan Bagian B untuk Jurusan Budaya.
9.      Taman Guru Indria (mendidik anak wanita yang ingin manjadi guru pada Taman Indria).
Asas-asas pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai berikut:
1.      Asas kemerdekaan.
2.      Asas kodrat alam.
3.      Asas kebudayaan.
4.      Asas  kebangsaan.
5.      Asas kemanusiaan. (Hasbullah, 2001: 265).
Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta. Beliau telah memberikan karya terbaiknya kepada nusa dan bangsa. Semboyan “Tut Wuri Handayani” diabadikan sebagai lambang dan semboyan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Ki hajar Dewantara pernah menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Kabinet presidentil I, 19 Agustus 1945- 14 November 1945. ( Hasbullah, 2001: 295).
Tujuan Pendidikan menurut Beliau adalah: sebagai proses pembudayaan kodrat alam setiap individu yang kemampuan-kemampuan bawaan untuk dapat mempertahankan hidup, yang tertuju pada pencapaian kemerdekaan lahir dan batin, sehingga memperoleh keselamatan dalam hidup batiniah . ( Ki Hajar Dewantara, 1952: 24).

2.5   Mohammad Syafei ( 1899-1969)
Mohammad Syafei lahir di Kalimantan pada tahun 1899. perjuangan beliau juga dititikberatkan pada bidang pendidikan.
Pada tahun 1922 beliau menjadi guru pada Sekolah Katini di Jakarta, dan sejak itu aktifitasnya di bidang pendiikan terus bertambah. Sebagai seorang tokoh pendidikan, Mohammad Syafei berjasa besar dalam mendirikan sekolah yang diberinama “Indonesische Nederlanshe Shool” atau yang lebih dikenal dengan sebutan INS, di Kayuttanam Sumatera Barat. (Hasbullah, 2001: 266).
Sementara itu INS yang kemudian merupakan singkatan dari “Indonesian National Scholl”, menitikberatkan pendidikanya kepada dunia kerja. INS menyelenggarakan pendidikan dalam jenjang:
1.        Ruang Bawah, yakni setara dengan sekolah Rendah atau Sekolah Dasar. Lama pendidikanya 7 tahun.
2.        Ruang Atas, yakni setara dengan sekolah menengah, lama pendidikanya 6 tahun.
Adapun tujuan sekolah yang diselengagarakan oleh Mohammad Syafei adalah:
1.        Mendidik anak-anak agar mampu berpikir secara rasional.
2.        Mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh.
3.        Mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang berwatak baik.
4.        Menanamkan rasa persatuan. (Hasbullah, 2001: 267).
Pada zaman kemerdekaan yaitu tahun 1952, sebagai penghargaan pemerintah terhadap usaha-usaha Mohamm, meninggal dunia pada tanggal 5 Maret 1969. Meskipun beliau sudah tiada tapi jasa-jasanya dibidang pendidikan tidak akan terlupakan, apabila para lulusan INS tersebar ke berbagai pelosok tanah air, yang tentu saja kiprahnya sangat besar bagi pembangunan bangsa dan negara.
Pendidikan menurut Syafei memiliki fungsi membantu manusia keluar sebagai pemenang dalam perkembangan kehidupan dan persaingan dalam penyempurnaan hidup lahir dan batin antar bangsa. ( Thalib Ibrahim, 1978: 25).  

2.6   Kiai Haji Ahmad Dahlan (1869-1923)
Ahmad Dahlan merupakan salah seorang tokoh Islam yang sangat giat memperjuangkan kemajuan umat Islam melalui bidang pendidikan. Dia adalah seorang tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta. ( Hasbullah, 2001: 268).
K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 M dengan nama kecilnya Muhammad Darwis, putra dari KH. Abubakar bin Kyi Sulaiman, khatib di masjid besar (Jami’) Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri haji Ibrahim, seorang penghulu. (Zuhairini, 2004: 199).
Setelah ia menamatkan pendidikan dasarnya di suatu madrasah dalam bidang nahwu, fiqh dan tafsir di Yogyakarta, ia pergi ke Makkah pada tahun 1890 dan ia menuntut ilmu di sana selama satu tahun. Salah seorang gurunya Syekh Khatib. Sekitar tahun 1903 ia mengunjungi kembali ke Makkah dan kemudian menetap disana selama dua tahun.
Sepulang dari Makkah yang pertama ia telah bertukar nama dengan Haji Ahmad Dahlan. Tiada berapa lama kemudian ia menikah dengan Siti Walidah putri Kyai Penghulu Haji Fadhil. (Amir Hamsyah W.S. 1968: 70)   
K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) mendirikan Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912. Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan yang mengadakan pembaharuan dalm kehidupan beragama berdasarkan Islam. Oleh karena itu, salah satu cita-citanya adalah melepaskan agama Islam dari adat istiadat kebiasaan yang jelek, supaya agama Islam dapat menyelaraskan diri dengan perubahan zaman, tetap bersifat muda dan menghindarkan diri dari kelemahan dan keburukan. Untuk mencapai hal tersebut, dipandang perlu sekali hal ikhwal agama Islam jangan hanya boleh diketahui dari pendapat alim ulama dari zaman dahulu yang tersohor, tetapi sebaliknya setiap muslim/muslimat harus dapat langsung mengarahkan sendiri hal ikhwal itu ke sumber asalnya, yaitu ke Kitab Suci Al-Qur’an, firman Tuhan yang dinyatakan melalui Nabi Muhammad.  (Redja Mudyahardjo, 2001: 280).

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yaitu:
1.        Umat Islam tidak memegang tuntutan al-Qur’an dan Hadits Nabi, sehingga menyebabkan perbuatan Syirik, bid’ah dan khurafat makin merajalela serta mencemarkan kemurnian ajaranya.
2.        Keadaan umat Islam sangat menyedihkan akibat penjajahan.
3.        Kegagalan institusi pendidikan Islam untuk memenuhi tuntutan kemajuan zaman, sebagai akibat dari isolasi diri.
4.        Persatuan dan kesatuan umat Islam menurun, sebagai akibat lemahnya organisasi Islam yang ada.
5.        Munculnya tantangan dari kegiatan misi Zending yang dianggap mengancam masa depan umat Islam.
Ahmad dahlan mempunyai harapan agar guru-guru sekolah dapat meneruskan isi pelajaranya kepada murid-murid mereka pula. Pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh K.H. Ahmad Dahlan kelihatanya memenuhi harapan dan keperluan anggota-anggota Budi utomo, sebagai bukti dari saran mereka agar ia membuka sebuah sekolah sendiri, yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen tradisional yang terpaksa ditutup, apabila kyai yang bersangkutan meninggal. ( Deliar Noer, 1982: 87).
Tujuanya adalah: Terwujudnya manusia muslim, berakhlak, cakap, percaya kepada diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara.
Tentang jenis-jenis sekolah yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
1.   Sebelum Merdeka:
a.  Sekolah umum; TK, Vervolg School 2 tahun, Schakel School 4 tahun, HIS 7   tahun, MULO 3 tahun, AMS 3 tahun, dan HIK 3 tahun.
b.  Sekolah Agama; Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, Tsanawiyah 3 tahun,  Muallimin/Muallimat 5 tahun, Kulliatul Muballighin (SPG Islam) 5 tahun.

2.   Sesudah Merdeka
Setelah Indonesia merdeka perkembangan pendidikan Muhammadiyah semakin pesat. Pada dasarnya ada 4 jenis lembaga pendidikan yang di kembangkanya, yaitu:
1.    Sekolah-sekolah umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu: SD, SMP, SMTA, SPG, SMEA, SMKK dan sebagainya.
2.    Madrasah-madrasah yang bernaung di bawah Departemen Agama, yaitu   Madrasah Ibtidaiyah, MTs dan Madrasah Aliyah.
3.    Jenis sekolah atau madrasah khusus Muhammadiyah, itu Muallimin, Muallimat, Sekolah Tabligh dan Pondok Pesantren Muhammadiyah.
4.    Perguruan Tinggi Muhammadiyah, ada yang umum dan ada yang berciri khas agama. Untuk perguruan tinggi umumnya di bawah pembinaan Kopertis Depdikbud, sedangkan perguruan tinggi agama di bawah pembinaan Kopertais Departemen Agama. (Redja Mudyahardjo, 2004: 282).


       KH. Ahmad Dahlan meninggal dunia pada tanggal 25 Februari 1923, dalam usia 55 tahun, dengan meninggalkan sebuah organisasi Islam yang cukup besar dan disegani karena ketegaranya. (Zuhairini, 2004: 202).

2.7   K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1974)
Organisasi keagamaan yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari ini bernama Nahdlatul Ulama (NU). N.U adalah organisasi keagamaan yang dipimpin oleh para ulama, dan berorentasi tradisional. Maksud perkumpulan N.U. adalah memegang teguh salah satu mazhab dari madzhab  Imam yang berempat, yaitu : 1. syafi’I, 2. maliki, 3. Hanafi, 4. Hambali, dan mengerjakan segala yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam. (Redja Mudyahardjo, 2001; 282). 
Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Pebruari 1871 di Jombang Jawa Timur. Beliau berjasa besar dalam mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926. Di samping mendirikan NU, KH. Hasyim Asy’ari dalam rangka merealisasikan cita-citanya, mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang pada tahun 1899. Mula-mula ia belajar agama Islam pada ayahnya sendiri Kyi Asy’ari. Kemudian ia belajar ke pondok pesantren di Purbolinggo, kemudian pindah lagi ke Plangitan, Semarang, Madura, dan lain-lain. (Zuhairini, 2004, 202).
Sewaktu ia belajar di Siwalan panji (Sidoarjo) pada tahun 1891, Kyi Ya’kub yang mengajarnya tertarik kepada tingkah lakunya yang baik dan sopan santunnya yang halus, sehingga ingin mengambilnya sebagai menantu, dan akhirnya ia dinikahkan dengan putri Kyainya itu bernama Khadijah (tahun 1892). Tidak lama kemudian ia pergi ke Makkah bersama istrinya untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim selama satu tahun, sedang istrinya meninggal disana. (Zuhairini, 2004: 203).
Pada kunjungan yang kedua ke Makkah ia bermukim selama delapan tahun untuk menuntut ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Sepulang dari Makkah ia membuka pesantren untuk mengamalkan dan mengembangkan ilmu pengetahuanya, yaitu Pesantren Tebuireng di Jombang (Pada tanggal 26 Robi’ul Awal tahun 1899 M).
Pembaharuan Tebuireng yang pertama ialah dengan mendirikan Madrasah Salafiyah (tahun 1919) sebagai tangga untuk memasuki tingkat menengah pesantren Tebuireng.
Pada tahun 1929 KH Hasyim Asy’ari menunjuk KH Ilyas menjadi kepala Madrasah Salafiyah. (Mahmud Yunus, 1979: 235). Dengan demikian KH Ilyas dapat melaksanakan hasratnya untuk memperbaharui keadaan dalam pesantren Tebuireng menurut cita-cita pendirinya KH. Hasyim Asy’ari.
Setiap bulan Sya’ban para kyai dari berbagai daerah mengunjungi pesantren Tebuireng untuk belajar selama satu bulan. Sebagai ilustrasi tentang pengakuan terhadap keahlianya. Dapat disebutkan bahwa seorang bekas gurunya pada tahun 1933 berkunjung ke Tebuireng untuk mendengarkan/mengikuti pelajaran yang ia berikan. (Deliar Noer, 1982; 250).
Sementara itu NU tidak saja bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan, tetapi sangat memperhatikan pada masalah-masalah pendidikan. Apalagi di NU ada satu bidang yang khusus menangani masalah pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan NU.

Adapun tujuan pendidikan Ma’arif adalah:
1.        Menumbuhkan jiwa pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak didik sesuai dengan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.
2.        Menanamkan sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak lain untuk lebih baik, ketrampilan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.        Menciptakan sikap hidup yang berorentasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah kesatuan.
4.        Menanamkan penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai ajaran yang dinamis. (Hasbullah, 2001: 270).

N.U mengadakan ikhtiar anatar lain:
1.        Mengadakan perhubungan di antara ulam-ulama yang bermazhab tersebut    diatas.
2.        Memelihara kitab-kitab sebelum dipakai untuk menagajr supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah wal Jama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah.
3.        Berikhtiyar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam.
4.        Menyiarkan agama Islam berdasarkan pada madzhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang baik.
5.        Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok, begitu juga dengan hal ikhwal anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin.
6.        Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syara agama Islam.

Basis pendidikan N.U. adalah Pesantren. Meskipun demikian N.U. menyeleng- garakan madrasah dan Sekolah Umum. (Redja Mudyahardjo, 2001:283).




7 komentar: